Archive for Kisah Islam

Keutamaan Memberi Makan

roti-bakar-_160215083319-409Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dalam sahihnya tentang kisah seorang ahli ibadah dari Bani Israil yang telah menghambakan dirinya kepada Allah selama 60 tahun lebih. Pada suatu hari, ahli ibadah itu keluar dari peribadatannya, secara tidak sengaja bertemu dengan seorang wanita yang cantik jelita. Wanita itu merayunya sehingga ia lupa diri, lalu berzina dengannya. Setelah berzina, muncullah penyesalan mendalam pada diri sang ahli ibadah. Ia menangis hebat hingga akhirnya pingsan. Ketika sadar, ia masih juga menyesali perbuatannya. Di tengah tangis pilunya, datanglah seorang pengemis lapar meminta belas kasihan. Kebetulan, di tangannya ada dua potong roti, lalu disedekahkan kepada pengemis itu. Nafsu makan ahli ibadah itu hilang sama sekali dikalahkan penyesalannya yang mendalam. Di tengah kepiluan itu, akhirnya ia pun meninggal.

Di akhirat, ternyata amal ibadahnya selama 60 tahun masih lebih ringan dibanding dengan satu perbuatan keji yang telanjur dilakukannya. Kemudian, setelah kebaikannya berupa sedekah dua potong roti itu diikutsertakan, menjadi beratlah amal kebaikannya. Maka, dia pun diampuni. Saudaraku, demikianlah adanya. Ibadah demi ibadah kita tidak cukup untuk meraih surga-Nya Allah. Shalat, zikir, tilawah, puasa, bahkan haji sekalipun belum tentu menjamin keselamatan kita di akhirat nanti. Apalagi, maksiat demi maksiat kita tak kunjung berhenti. Jangan kira ibadah lahiriah kita sudah pasti memasukkan kita ke surga. Ibadah ritual kita yang sifatnya pribadi tidak lengkap tanpa diiringi dengan amal sosial kita. Seperti kisah di atas, tabungan beribadah 60 tahun saja masih kalah dibanding satu perbuatan khilaf. Mengapa? Karena, perbuatan itu adalah zina. Zina adalah dosa besar. Untung saja, sebelum nyawa berpisah dengan raganya, sang ahli ibadah masih sempat memberi dua potong roti kepada seorang pengemis. Dengan itu, dia diampuni.
Memberi makan orang lain adalah amal sosial yang mulia. Mengenyangkan orang lain merupakan amal yang sangat dianjurkan Islam.  “Siapa pun mukmin memberi makan mukmin yang kelaparan, pada hari Kiamat nanti Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan surga. Siapa pun mukmin yang memberi minum mukmin yang kehausan, pada hari kiamat nanti Allah akan memberinya minum dari minuman surga. Siapa pun mukmin yang memberi pakaian mukmin lainnya supaya tidak telanjang, pada hari kiamat nanti Allah akan memberinya pakaian dari perhiasan surga.” (HR Tirmizi). Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa orang yang gemar memberi makan orang lain disediakan baginya pintu khusus di surga yang tidak ada yang boleh memasukinya selain dirinya dan semisal dengannya (HR Thabrani). Gemar memberi makan orang lain kelak akan memperoleh naungan pada hari perhitungan. “Tiga pekara siapa pun yang ada padanya, kelak akan dinaungi oleh Allah di bawah arsy-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Yaitu, berwudhu pada waktu cuaca dingin, mendatangi masjid meskipun gelap, dan memberi makan orang yang kelaparan.” (HR Abu Muslim al-Ashbahani). Memberi makanorang yang kelaparan termasuk amalan yang dapat menghapus dosa-dosa, mengundang turunnya rahmat, dan menyebabkan diterimanya tobat. Mencukupkan diri dengan ritual-ritual yang bersifat individual belum cukup. Orang yang beriman harus melengkapi dirinya dengan amal-amal sosial. Nabi SAW bersabda, “Tidak (sempurna) iman orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan.” (HR al-Baihaqi). Alangkah indahnya jika kita memahami ajaran Islam ini secara utuh. Bahwa Islam bukan ajaran individualis, melainkan ajaran yang mengedepankan distribusi kebaikan kepada orang banyak. Orang yang beriman harus hadir membantu saudaranya yang kesulitan. Bukan semata atas dasar kemanusiaan, melainkan itulah tuntutan keimanan.

Oleh: TGH Habib Ziadi

Sabda Rasulullah Soal Usia ke-40

buang-waktu-ilustrasi-_150312215228-633Ali bin Ali Thalib berkata, ”Alangkah cepatnya jam demi jam dalam satu hari, alangkah cepatnya hari demi hari dalam satu bulan, alangkah cepatnya bulan demi bulan dalam setahun, alangkah cepatnya tahun demi tahun dalam umur manusia.” Dalam hidup manusia terdapat tonggak-tonggak umur yang sangat penting, di antaranya umur empat puluh tahun sebagaimana tertera dalam Alquran (Al-Ahqaf: 15–16). Nabi Muhammad SAW juga mengilustrasikan dalam sebuah hadisnya, ”Bila seseorang sudah mencapai usia empat puluh tahun, lalu kebaikannya tidak mengatasi kejelekannya, setan mencium di antara kedua matanya dan berkata, ‘inilah manusia yang tidak beruntung’. ” Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, ”Barang siapa umurnya sudah melebihi empat puluh tahun sedang kebaikannya tidak lebih banyak dari kejelekannya, hendaklah ia mempersiapkan keberangkatannya ke neraka.” Dari dua hadis tersebut di atas, Nabi SAW menganjurkan umatnya untuk memeriksa amal perbuatannya setiap kali menyadari umurnya kian bertambah. Dengan demikian, umur merupakan aset sekaligus pertanggungjawaban. Kita bisa beruntung dan celaka dengan umur panjang kita. Semuanya bergantung pada amal yang kita perbuat. Syahdan, menurut beberapa riwayat, sebelum Rasulullah SAW mengembuskan nafas terakhirnya, beliau mengatakan, ”Ummati, ummati, ummati,” dengan lirih dan sendu. Kata ummati yang diungkapkan beliau itu sinonim dari kata komunitas atau masyarakat yang menurut Chairil Anwar dalam salah satu puisinya adalah laksana lautan, terkadang bergelombang dan bergolak yang melambangkan keteguhan dan keperkasaan seakan siap menelan dan menghantam semua yang dihadapi. Di lain waktu, ia laksana hamparan biru permadani yang menggambarkan ketenangan dan kedamaian. Namun, laut juga bisa diibaratkan sebagai “tong sampah”, tempat pembuangan segala macam kotoran, sampah, limbah, dan sebagainya. Konteks yang diungkap Rasulullah tersebut merupakan refleksi dari pertanyaan siapakah di antara kita yang semangat imannya terus bergelombang seiring dengan pertambahan umurnya? Siapa pula yang tetap tenang dan tenteram meski cobaan datang bertubi-tubi? Siapakah di antara kita yang justru tidak memanfaatkan sisa umur ini dalam kebaikan dan keimanan? Orang semacam inilah bak tong sampah, tempat pembuangan kotoran sosial maupun kultural. Toh, umur ditentukan oleh mutunya, bukan panjangnya. Rasulullah menyimpulkannya dalam dua kalimat, ”Manusia paling baik ialah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya. Manusia paling buruk ialah yang panjang umurnya dan buruk amalnya.”

Oleh: Ahmad Fatoni

Tujuh Kalimat Mustajab

mustajabSemua orang mendambakan kebahagiaan. Akan tetapi, memaknai sebuah kebahagiaan bisa berbeda antara satu dan yang lainnya. Bagi kaum materialis, bahagia adalah jika sudah terpenuhinya segala kebutuhan fisik. Hanya, kebutuhan fisik tidak akan pernah ada batasannya. Dalam agama Islam, kebahagiaan (as-sa’adah) adalah selerasnya keinginan hamba dengan taufik Allah SWT. Kebahagiaan ini akan terasa tidak hanya ketika masih hidup di dunia, tetapi juga akan terus berlanjut hingga kehidupan di akhirat kelak. Ada tujuh kalimat yang sangat mulia di sisi Allah beserta para malaikat, sekaligus menempatkan orang yang istiqamah mengamalkannya, mendapatkan ampunan Allah SWT. Inilah sebenarnya kebahagiaan yang hakiki yang dicari setiap hamba Allah SWT.

Pertama, membaca basmalah (bismillah) ketika akan memulai segala sesuatu. Dengan membaca basmalah, berarti seorang hamba menyertakan permohonan keberkahan dan limpahan rahmat Allah dalam pekerjaannya.

Kedua, membaca hamdalah (alhamdulillah) ketika selesai mengerjakan sesuatu. Hamdalah adalah kalimat pujian seorang hamba atas kemudahan dan kemurahan Allah yang menyertai pekerjaannya.

Ketiga, membaca istighfar (astaghfirullah) jika terucap kata yang tidak patut. Perkataan kotor, nista, dan mengandung unsur nifak merupakan hal yang tercela, karenanya Islam sangat mengecam perilaku ini. Demikian juga tindakan-tindakan yang menyalahi norma agama. Maka sepatutnya bagi pelakunya untuk memohon ampunan Allah SWT.

Keempat, mengucapkan “insya Allah” ketika ingin berbuat sesuatu. Rasulullah Muhammad SAW pernah diingatkan oleh Allah agar mengucapkan kalimat tersebut jika menjanjikan sesuatu. Ini terkait dengan janji Beliau untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kaum Quraisy.

Kelima, mengucapkan “la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyil adzim” jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya. Kalimat ini sekaligus menegaskan kemahakuasaan Allah dan menunjukkan kelemahan hamba di hadapan-Nya.

Keenam, mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” jika sedang tertimpa musibah. Kalimat yang dikenal dengan sebutan istirja’ ini menunjukkan sikap tawakal sang hamba. Dan tawakal merupakan salah satu sifat yang diperintahkan dalam Islam.

Ketujuh, membaca “La Ilaha Illallahu, Muhammadur Rosulullah” sepanjang hari, petang dan malam. Kalimat persaksian ini merupakan akar sekaligus password bagi setiap kaum Muslimin. Dengan kalimat ini seorang hamba bisa langsung mengikatkan ruhaninya dengan Sang Pencipta segala sesuatu. Kalimat yang jika dibaca di akhir hayat seseorang akan menjadi penjamin surga sekaligus pembuka pintu surga di akhirat kelak. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh:  A Khotimi Bahri

Dua Kenikmatan Yang Tak Dapat Bertemu

muslimah-shalat-tahajud-_131023153305-815Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu. Dua kenikmatan yang tidak dapat bertemu yaitu nikmat ibadah dan nikmat maksiyat. Hamba Allah yang istigroq tenggelam dalam nikmat ibadah pasti tidak akan mau maksiat. Karena hamba itu sudah merasakan nikmat hakiki, nikmat yang dicari-cari semua mahluk di dunia ini yang tidak semua mendapatkannya kecuali hamba Allah yang mujahadah serius sungguh-sungguh mendekatkan diri kepada-Nya. “Dan mereka yang sungguh sungguh mencari keridhaan Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan hidayah Kami, dan Allah mencintai mereka yang senang sekali berbuat baik” (QS Al Ankabut 69).

Sebaliknya mereka yang senang berzina, mabuk, makan yang haram, penipu, suka dusta, penyebar gosip, tukang fitnah, semua para penikmat maksiyat itu pasti tidak akan nikmat ibadah. Kalaupun shalat berat, puasa terpaksa, zikir hanya sedikit, haji pun hanya gelar. “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan rasa malas. Mereka bermaksud riya di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS An Nisa 142).

Jadi, sahabat shalehku jangan gadaikan kenikmatan rohani dengan kesenangan jasmani yang akan jadi bangkai ini, jangan gadaikan kebahagiaan selama lamanya di akhirat hanya karena dunia sesaat yang menipu ini, Insya Allah kita bisa sahabatku….aamiin, aamiin, aamiin. Dan jangan lupa sebelum rehat malam ini berwudhu, berdoa, berzikir, tentunya setelah periksa keadaan rumah, peluk cium istri anak anak, dan sampaikan pada mereka bahwa engkau sangat menyayangi mereka karena Allah, dan berazam niat kuat untuk shalat malam.

Oleh: KH Muhammad Arifin Ilham

Agar Hati Tidak Berkarat

takwa-ilustrasi-_120508200427-645“Sesungguhnya, hati itu dapat berkarat sebagaimana besi berkarat. Rasulullah SAW lalu ditanya: Apa yang bisa membuat hati agar tidak berkarat? Rasul menjawab: Membaca Alquran dan mengingat kematian.” (HR al-Baihaqi). Ilustrasi dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa hati manusia itu potensial menjadi seperti besi yang kemudian berubah menjadi berkarat. Sebelum berkarat, besi itu kuat, tapi ketika sudah berkarat, ia akan berubah menjadi rapuh. Hati yang berkarat adalah hati yang berpenyakit atau sudah tidak sehat dan kuat. Agar hati tidak berkarat, Rasulullah SAW memberi solusi, yaitu membaca Alquran. Badiuzzaman Said Nursi dalam al-Mu’jizat al-Qur’aniyyah menjelaskan bahwa Alquran adalah Kalam Allah. Ia adalah kitab suci yang menebarkan hikmah yang turun dari lingkup nama-Nya yang paling agung. Ia menatap kepada apa yang diliputi Arasy yang paling agung. Jangankan hati yang berkarat! Bebatuan gunung yang kuat dan kokohpun dapat “takluk dan tunduk” kepada Alqur dan sekiranya diturunkan kepadanya. (QS al-Hasyr [59]:21). Hati adalah cermin cahaya (nur) ilahi. Karena itu, wajar jika hati yang berkarat akan kembali memancarkan cahaya te rang apabila diasupi hidangan rabbani. Sebab, Alquran merupakan “jamuan spesial” Allah SWT (ma’dubatullah) bagi hamba-Nya. Jamuan kemuliaan ini tentu harus dinikmati dan dimaknai. Memaknai Alquran identik dengan membaca, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan mengamalkan seruan berpikir rasional, pesan-pesan moral dan spiritualnya. Dengan kata lain, agar hati tidak berkarat, mudarasah Al quran harus terus dilakukan dan dibudayakan; bukan sekadar mengaji (tilawah), membaca, dan mempelajari pesannya (qira’ah wa tadarus), melainkan memahami, menerjemahkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya dalam ke hidupan nyata (mudarasah), sehingga spirit Alquran itu menjiwai dan menggelorakan kehidupan yang semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keadilan, keindahan, dan kedamaian. Mudarasah Alquran merupakan peneduh hati yang gersang dan penjinak watak “keras kepala dan keras hati”. Sejarah membuktikan bahwa Umar bin al-Khattab yang sebelum masuk Islam dikenal berwatak keras kepala dan liar, hatinya luluh dan berubah 360 derajat setelah mendengar lantunan ayat-ayat Alquran yang dibacakan adik kandungnya yang telah masuk Islam, Fatimah binti al-Khattab. Ayat yang didengarnya adalah QS Thaha ayat 2-4,”Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu agar kamu men – jadi susah (sengsara), tetapi sebagai peringatan bagi orang- orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. “Jika jujur berintrospeksi diri, tampaknya kita umat Islam belum banyak melakukan mudarasah Alquran. Kita masih jauh dari naungan Alquran. Kita belum bisa menikmati jamuan Allah yang diturunkan pada bulan yang suci ini. Boleh jadi, salah satu penyebab kemunduran, keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan yang mendera umat Islam saat ini adalah masih jauhnya kita dari naungan dan pangkuan Alquran. Padahal, menurut Sayyid Qutub dalam pengantar tafsir Fi Zhilal Alquran, hidup di bawah naungan Alquran itu nikmat. Wallahu a’lam bish-shawab!

Oleh: Muhbib Abdul Wahab