Archive for November, 2012

Menikmati Beribadah

Hakikat ibadah yang diterima hanya Allah yang mengetahui. Namun, hal itu bisa dinilai dengan sesuatu yang nampak dari ibadahnya. Di antaranya, “hubbul ibadah”, sangat senang beribadah. Muazin baru saja melewati rumahnya, artinya azan belum sama sekali dikeraskan, hatinya terliputi bahagia. Apalagi ketika azan sudah dikumandangkan. Dirinya sudah memastikan berada di barisan shaf shalat terdepan, dan lisannya terus menjawab setiap bait-bait azan. Inilah tanda kedua yaitu “intizharul awqat”, merindukan dan menanti-nanti waktu ibadah. Wajahnya memancar aura cemas, yaitu takut ketinggalan apalagi sampai meninggalkannya. Seperti semalam dirinya ketiduran, karena lelah yang hebat, sehingga tahajud menjadi terlalaikan. Maka pagi hari, wajah ketidaknyamanan menyebar pada aktivitas hariannya. Sering murung dan selalu komat-kamit beristighfar. Padahal, dirinya sudah merangkai shalat Dhuha dengan mengqadha tahajud. Berikutnya, berusaha maksimal untuk mempelajari kualitas ibadah yakni tercapainya kekhusyukan dan keikhlasan. Ada kesungguhan dalam menyempurnakan kekurangan ilmu dan bersegera menerapkannya berulang-ulang. Baik dalam prosesi ibadah maupun penerjemahannya dalam amaliyah harian. Dalam shalat, ia bermujahadah, tunduk, pasrah bersedekap, merendahkan bacaan dan diam tumakninah (QS Thaha: 108). Di luar shalat, memancar kearifan dengan menyibukkan diri dalam muhasabah (introspeksi). Tanda lain bisa dilihat dari kegemarannya yang tidak putus dalam berdoa. Selalu dalam setiap selesai shalat, terdengar doa-doa permohonan agar dimaafkan segala kekurangan, kesalahan dan diterima semua ibadah. Dirinya telah memutus kebiasaan selesai shalat meninggalkan tempat (kabur). Sekarang, dirinya terlihat sangat menikmati saat berzikir dan munajat seusai shalat. Di tangannya tasbih terus melingkar. Di akhir doa, dia merapatkan dahinya pada alas sejadah. Tersungkur dan menangis, bahkan hingga membengkak kedua kakinya (QS Maryam [19]: 58). Menangis karena rasa syukur bisa menikmati ibadah sekaligus rasa takut dengan azab Allah baik di dunia atau di akhirat kelak. Rumah tangga yang dijalin terlihat “sakkanun”, sangat damai dan tidak beriak. Wajah suami-istri dan anak-anak sumringah bahagia. Santun dan penuh khidmat baik pada keluarga maupun pada lingkungan dan tetangganya. Bahkan, sangat senang untuk berkumpul dalam lingkungan yang sama yang berbalut semangat ibadah dan dakwah. Subhanallah. Menyenangkan dan menenangkan. Begitulah seharusnya efek dari menikmati ibadah. Tentu kita tidak mau ibadah yang kita senangi ini akan menjadi shalat yang hanya tinggal gerak badan tanpa getar hati. Ibadah haji dan umrah hanya menjadi salah satu di antara tujuan wisata. Baitullah hanya tampak sebagai seonggok batu dari zaman purba; tidak berbeda dengan Tembok Cina atau Menara Pisa. Zakat dikeluarkan sama beratnya dengan pajak. Dan puasa menjadi rangkaian upacara kesalehan yang lewat begitu saja setelah usai Ramadhan. Sekali lagi, nikmati keadaan ibadah saudara, dengan hati dan diniati mencari kebaikan semata-mata hanya ridha Allah yang menjadi tujuannya.

Oleh: Ustaz HM Arifin Ilham

Manajemen Lebah

Rasulullah SAW mengumpamakan Muslim itu seperti lebah. “Mukmin itu bagaikan lebah. Jika hinggap pada tanaman berbunga, ia memakan sarinya yang baik, tidak mematahkan maupun merusak yang dihinggapinya.” (HR Ahmad, Abu Syaibah, dan Thabrani). Hadis di atas memberi isyarat kuat bahwa setiap Mukmin harus belajar dari manajemen lebah. Setiap Mukmin harus selalu mencari dan mengonsumsi makanan yang halal dan baik (halalan thayyiban) sekaligus tidak membuat kerusakan lingkungan.

Makanan yang halal dan bergizi adalah sumber energi kehidupan yang penuh keberkahan, mendatangkan manfaat, dan memacu produktivitas. Tidak merusak lingkungan berarti bersikap harmoni pada alam, dan selalu berusaha memakmurkan dan menyejahterakan umat manusia di muka bumi. Merusak lingkungan berarti berakibat buruk bagi dirinya dan orang yang ada disekitarnya.

Menurut mufassir Tantowi Jauhari, manajemen lebah itu sungguh unik dan perlu diteladani. Lebah itu tidak ada yang hidup egois dan individualis. Sarangnya senantiasa bersih dan terlindung. Hidupnya selalu bersatu, bekerjasama secara kompak dan saling melengkapi.

Meskipun dipimpin seekor “lebah ratu”, komunitas (koloni) lebah selalu berbagi tugas secara rapi. Ada yang membuat sarang, mencari sari madu, mengumpulkan bahan makanan, pembuat madu, prajurit, peneliti (terutama untuk mencari tempat baru), dan sebagainya. Semua bekerja secara “profesional”. Hasil kerjanya dipergunakan untuk kemanfaatan semua pihak lain, terutama manusia.

Manajemen lebah sungguh efektif dan produktif. Satu koloni lebah yang berisi puluhan ribu lebah, mampu menghasilkan dua sampai tiga liter madu dalam satu musim. Bukan hanya madu, lebah juga mampu memberi manfaat lainnya. Sengatan lebah bermanfaat untuk terapi akupuntur.

Dengan demikian, nilai-nilai manajemen lebah yang patut diaktualisasikan dalam kehidupan Mukmin adalah kebersihan (lingkungan maupun makanan yang dikonsumsi), visi dan misi yang terorganisasi secara rapi (menghasilkan produk yang bermanfaat).

Selain itu, lebah juga sangat menjaga kesatuan dan kerja sama, mengikuti jalan Tuhan (ketaatan), mobilitas dan produktivitas tinggi, hidup harmoni dengan alam (tidak merusak, tapi justru membantu penyerbukan bunga pada suatu tanaman), dan selalu berprinsip memberi kemanfaatan (obat dan minuman sehat) bagi orang lain. Perhatikan (QS an-Nahl [16]: 68-69).

Nabi SAW menegaskan ayat di atas dengan menambahkan; “Jika engkau bergaul dengannya, ia memberimu manfaat; jika engkau ajak bermusyawarah, ia pun memberi manfaat; jika engkau ajak berdiskusi, ia mau memberi manfaat. Segala aktivitas (hidupnya) memberi manfaat. Demikianlah, lebah dengan segala aktivitas dan produknya selalu bermanfaat.” (HR al-Baihaqi).

Meneladani manajemen lebah itu, mengharuskan setiap Mukmin untuk bersikap, berpikir, berbuat, dan berkarya demi kemanfaatan dan kemaslahatan bagi orang lain. Karena, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. (HR at-Thabrani).

Jika setiap Mukmin selalu belajar manajemen lebah, niscaya umat dan bangsa ini akan sejahtera, dan terhindar dari perbuatan buruk seperti korupsi. Wallahu a’lam.

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

Pendidikan Qur’ani

Setiap anak yang dilahirkan adalah fitrah (suci). Kedua orang tua yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR Bukhari Muslim). Hadis ini mengajarkan betapa peran orang tua sangat penting dalam membentuk karakter anak. Orang tua adalah guru utama dan keluarga sebagai sekolah pertama untuk melahirkan generasi terbaik. (QS [98]: 7). Alquran mengingatkan umat Islam agar tidak meninggalkan generasi yang lemah (dzurriyyatan dhi’afan) (QS [4]: 9), tapi generasi yang kuat, cerdas, penyejuk mata dan hati serta pemimpin orang bertakwa. (QS [25]: 74).
Karenanya, pendidikan Islam harus berorientasi Qur’ani yakni pembentukan karakter Islami. Bukan berorientasi nilai (angka) akademik dan kelulusan, apalagi mengabaikan akhlak (moralitas). Khalid Bin Hamid al-Hazimy, penulis buku, “Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah”, menjelaskan tiga orientasi pendidikan Qur’ani.

Pertama, orientasi penanaman. Ibarat pohon, ia bermula dari bibit pilihan, ditanam dengan kesungguhan dan keikhlasan, hingga tumbuh dan berkembang menjadi pohon yang kokoh, rindang dan berbuah. Begitu pula dengan manusia. Dari jutaan sperma, hanya satu yang berhasil membuahi sel telur dengan benih terbaik. (QS [76]: 1-2). Dalam kandungan, ia ditiupkan ruh Ilahi dengan potensi tauhid (QS [7]: 172). Ketika lahir, ia diazankan dan diiqamatkan agar mendengar kalimah tauhid dan thayyibah. Pendidik Sejati, Luqman al-Hakim, telah memberikan teladan dalam mendidik anak yang benar yakni penanaman akidah lebih dahulu. Jika akidah tauhidnya kuat, maka kepribadiannya pun akan baik. (QS [31]: 12-19). Kalimah thayyibah itu, laksana pohon yang akarnya menghunjam ke bumi dan dahannya menjulang ke langit, dengan buah yang banyak. (QS [14]: 24-25). Pepatah Arab mengatakan, “man yazra’ yahsud” (siapa menanam dia akan memanen).

Kedua, orientasi pemeliharaan. Ia mesti dijaga (evaluasi) dengan baik agar tumbuh menjadi pohon yang kokoh, sekaligus memperkuatnya dengan pupuk yang berisi akhlak mulia, agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif. Nabi Ya’qub AS bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah tuhanmu, tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq, yakni Tuhan yang Mahaesa.” (QS [2]: 133). Kalau kita, sering menanyakan, “Apa yang akan kalian makan setelah aku mati?”

Ketiga, orientasi penyembuhan. Pohon yang tumbuh akan terus menghadapi bala dan hama. Ia harus diberi obat penawar untuk melawan hama. Jika tidak, ia bisa mati atau hidup segan mati tak mau. Begitu pula perkembangan anak-anak di tengah tatanan sosial yang bobrok ini. Upaya-upaya sistematis dan massif untuk merusak akidah, pemikiran dan akhlak anak-anak sangat deras dan bertubi-tubi, termasuk pada siaran televisi TV yang memberitakan kekerasan, pornografi, serta pornoaksi. Mereka harus dirangkul dan dibimbing menuju jalan yang benar. Jangan tinggalkan dalam kesesatan. Kita bimbing mereka dengan membaca dan merenungi Alquran, karena ia adalah obat dan penyejuk hati (QS [17]: 82), bertaubat dan istighfar (QS [66]: 8), mengerjakan kebaikan dan muhasabah. (HR Tirmidzi). Wallahu a’lam.

Oleh: Hasan Basri Tanjung

Memperbaiki Rasa Malu

Manusia memiliki sifat malu yang dapat menggerakkan nalurinya, menilai mana yang benar dan salah. Dengan rasa malu itu, setiap manusia berjalan di atas ketetapan fitrah dari Rabbnya. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu tak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.”  Beliau juga mengatakan bahwa salah satu dari bagian iman adalah sifat malu. Jika manusia dibekali malu untuk hidup, lain halnya dengan binatang. Allah memberikan nikmat kepada binatang sesuai dengan kebutuhannya. Hewan hanya memiliki insting dipadu dengan nafsu untuk hidup.
Ia tak butuh malu karena memang Allah tidak memberikan sifat itu. Begitulah Allah telah mengatur hamba-Nya untuk menjalani hidup di alam fana ini. Malu dapat menjamin kualitas batin manusia. Karena itu, manusia tak pernah terpisahkan dengan sifat malu dan malu selalu berkaitan erat dengan ketebalan iman seseorang terhadap Rabb-nya. Sebagian besar sahabat Rasulullah SAW menjaga dan mengedepankan rasa malunya di atas kepentingan duniawi mereka. Usman RA, misalnya, dia adalah sahabat yang paling besar sifat malunya hingga Nabi SAW pun sangat menghormatinya. Di masa hidupnya, Rasul pernah berbaring di pangkuan istrinya, lalu datang Abu Bakar RA sedang bagian tubuhnya terbuka, tetapi nabi membiarkan hingga datang sahabat Umar RA. Akan tetapi, ketika datang Usman RA, Rasulullah dengan serta-merta merapikan pakaiannya agar tak terlihat olehnya.
Ketika ditanya istrinya mengapa berbuat demikian kepada Usman dan tidak kepada Abu Bakar dan Umar, Nabi menjawab bahwa Usman sangat pemalu. Di lain waktu, nabi pun menyanjung keistimewaan Usman di hadapan para sahabat beliau. Usman terhormat karena menjaga malu yang melebihi malunya seorang gadis. Kekuatan iman seorang Muslim dapat dilihat dari sifat malu dalam dirinya. Seorang Muslim hakiki akan menjaga dirinya dengan benteng malu terhadap Tuhannya bila berbuat dosa. Ia akan menaati semua perintah-Nya sekuat tenaga. Ia akan sangat menyesal, merasa bersalah dan malu kepada Rabbnya jika meninggalkan satu saja syariat-Nya. Begitulah ciri kehidupan seorang Muslim yang teguh hati menjaga malunya. Sebagaimana diterangkan Rasulullah SAW, seorang Muslim yang tidak punya rasa malu sama sekali, dipersilakan  berbuat sesuka hatinya. Mereka telah terlepas dari tali umat Muhammad yang menghormati kalam Allah dan sabda beliau, mereka akan dikirim ke dalam azab-Nya yang pedih dan menyakitkan, kehinaan mereka peroleh di dunia dan siksaan mereka terima di neraka. Dunia seakan telah mejadi rumah abadi bagi manusia- manusia rakus dan pengekor hawa nafsu. Mereka tak lagi memikirkan siapa Rabb-nya dan apa saja perintah serta larangannya. Harta, tahta, dan wanita memang tombak serang setan untuk menyerang manusia. Maka dari itu, mari kita hargai diri dengan menjaga sifat malu sebagai fitrah manusia. Wallahu a’lam.

Oleh: Muhammad Khoirul Munadi

Jaminan Allah

Aslinya, semua manusia berada dalam jaminan Allah. Allah menjamin benar rezeki semua hamba-Nya. Bahkan kayak lumut, yang tidak bisa bergerak, Allah juga yang menanggung. Hewan seperti cecak ya tak bisa terbang, makanannya ya nyamuk yang terbang. Namun, jaminan Allah itu akan dikurangi sedikit demi sedikit, hingga bahkan ada yang dicabut. Kalaulah tidak karena pertimbangan orang tuanya, istrinya, suaminya, anaknya, atau orang yang ikut dengannya, niscaya dia sama sekali nggak dapat rezeki dari Allah. Misalnya, saudara yang hidupnya lurus, dijaga yang wajibnya, maka terasa sekali hidup ini terasa lancar-lancar saja. Ada ujian, itu memang pasti. Namanya juga hidup. Tapi ujian itu, banyak pertolongannya dari Allah. Saudara yang sudah lurus hidupnya, yang sudah nggak doyan duit haram, lalu mau memperbanyak ibadah-ibadah sunnah, akan terasa sekali rezeki itu akan bertambah. Baik jumlahnya maupun keberkahannya. Seorang sopir taksi, misalnya. Di pagi hari dia melangkah dengan niat bismillah. Lalu diiringi dengan doa istri dan anak-anaknya, menarik taksi kira-kira 1-2 putaran, kemudian mampir ke masjid untuk dhuha, lalu berdoa. Setelah itu jalan lagi mencari penumpang. Menjelang azan Zhuhur, dia ke masjid lagi untuk shalat berjamaah, ditambah dengan shalat sunnah qabliyah-bakdiyah, lalu berdoa. Sopir yang seperti ini, niscaya rezekinya akan melebihi apa yang dia duga. Insya Allah, keluarganya jarang sakit, anak istrinya sehat, tidurnya nyenyak, dan hidupnya mudah serta berkah. Buat saudara-saudara semua, keluarga besar Republika yang saya cintai karena Allah, apabila yang wajibnya (shalat, puasa, dan zakat) sudah rapi, maka lakukanlah amalan yang sunnah. Insya Allah, jaminan dari Allah akan bertambah terus. Dan sebisa mungkin, jauhilah perbuatan dosa dan maksiat. Sebab, perbuatan dosa akan mengurangi jaminan dari Allah, dan suatu saat pasti akan dicabut. Orang membeli handphone, gadget, peralatan elektronik, semuanya harus mengikuti peraturan yang ditetapkan toko atau pabrik jika mau ada jaminan atas barang yang dibeli. Jika tidak, maka jaminan pasti tidak akan berlaku. Contohnya, saudara merusak segelnya, maka toko biasanya akan menolak. Mengikuti peraturan, berarti berlaku juga aturan. Banyak orang yang tidak mau mengikuti aturan Allah, namun hidupnya tetap menyenangkan bahkan rezekinya banyak. Dengan orang yang seperti ini, kita tak usah silau, iri, apalagi dengki. Sebab, rezeki itu sudah diatur oleh Allah. Istilahnya, itulah yang disebut dengan istidraj. Bahasa gampangnya, orang yang seperti itu azabnya atau kerugiannya ditundak oleh Allah. Kita harus waspada dan takut akan hal seperti itu. Sebab, balasan Allah akan lebih berat di akhirat kelak. Hidup ini mudah dan enteng. Jalanilah kewajiban sebagai seorang hamba. Jalankan perintah Allah, laksanakan ibadah wajib, perbanyak amalan sunnah, jauhi semua larangan-Nya, niscaya Allah akan memberikan jaminan yang lebih baik bagi saudara. Percayalah.

Oleh: Ustaz Yusuf Mansur